Gambaran umum tentang budidaya ikan nila di Indonesia
Industri akuakultur berkembang pesat di seluruh dunia, terutama dalam budidaya ikan nila. Namun, di Indonesia, ada beberapa masalah yang menghambat perkembangan budidaya ikan nila, termasuk masalah lingkungan, pembatasan kebijakan, wabah penyakit, dan bibit yang berkualitas buruk. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, ikan nila merupakan komoditas penting dan ikan pangan yang populer di Indonesia dan dibudidayakan di berbagai sarana perairan seperti danau, waduk, kolam air tawar dan kolam tanah, keramba jaring apung, saluran irigasi, dan sawah.
Sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk mempromosikan kegiatan yang terkait dengan pariwisata, penggunaan keramba jaring apung di beberapa waduk dan danau telah dibatasi sejak tahun 2018. Hal ini telah mengganggu kegiatan budidaya di danau-danau besar buatan dan alami seperti Danau Toba, Riam Kanan, Danau Batur, dan waduk-waduk seperti Jatigede, Cirata, dan Jatiluhur. Selain itu, alokasi lahan untuk padi dibandingkan dengan kolam tanah telah berdampak pada budidaya tilapia, dan penurunan daya dukung lingkungan semakin memperburuk situasi.
Tantangan di sepanjang perjalanan
Faktor lingkungan dan wabah penyakit telah berkontribusi pada penurunan kinerja pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup dari 70% menjadi kurang dari 40%. Selama 15 tahun terakhir, produktivitas kolam tanah tradisional telah turun 50-100%, dengan biomassa menurun dari 2,0 kg/m3 menjadi 1,0-0,5 kg/m3. Beberapa kolam budi daya lainnya juga menghadapi tantangan serupa.
Ikan nila sangat rentan terhadap penyakit selama dekade terakhir, dengan bakteri Aeromonas yang menular terjadi pada fase pembenihan dan pembibitan, dan Streptococcus selama fase pertumbuhan ketika ikan berukuran antara 10g hingga 1kg. Penyakit bakteri telah menyebabkan kematian massal atau menurunkan tingkat kelangsungan hidup menjadi hanya 30%. Parasit dan jamur juga menjadi ancaman selama tahap pembenihan dan pembibitan pada tahap benih berukuran 2-3cm. Tantangan lingkungan lainnya termasuk oksigen terlarut, suhu, dan pH yang rendah, yang menyebabkan tingkat kelangsungan hidup kurang dari 40% dari rata-rata 70%.
Kualitas benih dan ikan remaja yang buruk juga berdampak pada kinerja pertumbuhan, sementara peningkatan biaya pakan dan energi semakin memperburuk situasi. Di Indonesia, biaya produksi ikan nila pada tahun 2022, dengan asumsi FCR 1,5 untuk ikan berukuran 500-800g dan tingkat kelangsungan hidup 50%, berkisar antara Rp16.000-18.000/kg (USD1,11-1,23/kg). Untuk meningkatkan produksi ikan nila dengan tingkat kelangsungan hidup yang baik, kinerja pertumbuhan, dan FCR yang lebih baik, sangatlah penting memperkenalkan bibit ikan yang berkualitas baik ke dalam budidaya ikan nila di Indonesia.
Pakan yang berkualitas
Terdapat berbagai macam spesifikasi untuk pakan ikan nila di Indonesia, dan harga bervariasi tergantung pada persentase protein kasar dan merek. Pada tahun 2022, harga pasar lokal berkisar antara Rp23.500/kg hingga Rp26.000/kg (USD1,56-1,73/kg). Sebagai perbandingan, harga grosir untuk ikan nila hidup di China pada tahun 2020 berkisar antara CNY7,5-8 (USD1,09-1,16/kg) untuk ukuran 500-800g (DAP, Hainan).
Diperkirakan bahwa produksi ikan nila telah meningkat pada tahun 2022. Namun demikian, masalah baru telah muncul karena kenaikan harga pakan yang cukup besar, yang mengakibatkan kenaikan global dalam biaya beberapa bahan pakan yang signifikan. Akibatnya, pembudidaya menghadapi tantangan dalam mencapai efisiensi biaya produksi. Pada pertengahan pertama tahun 2022, telah terjadi sedikit penurunan produksi, yang dibuktikan dengan kenaikan harga ikan di pasar lokal. Menurut laporan, pembudidaya skala kecil di berbagai daerah telah berhenti beternak karena meningkatnya biaya produksi, terutama karena harga pakan yang tinggi. Untuk meningkatkan volume produksi, meningkatkan efisiensi lahan, dan mengurangi biaya produksi, para pembudidaya dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi metode budidaya perikanan intensif.
Di Jogjakarta dan Jawa Timur, budidaya ikan nila secara intensif cukup lazim dilakukan, dengan menggunakan kolam-kolam kecil dengan kincir yang berisi 10-15 ekor ikan nila (50-100 ekor/m3). Tingkat kelangsungan hidup sekitar 70-80%, dan produktivitasnya melebihi 15kg/m3 dengan berat 200g – 250g per ekor setelah 120-140 hari. FCR adalah 1,3-1,4, dan biaya produksi berkisar antara Rp 16.000 hingga 17.000/kg (USD1,06-1,13/kg). Biaya energi berkisar antara Rp 500-1.000/kg (USD 0,03-0,06/kg). Teknologi yang lebih baru yang telah diperkenalkan oleh USSEC dan GPMT adalah In-Pond Raceway System (IPRS). Tujuan dari teknologi ini adalah untuk meningkatkan produktivitas (30 ton/sel atau lebih dari 125kg/m3) dan berfungsi sebagai alternatif dari budidaya di dalam karamba dan sarana budidaya tradisional.
Teknologi inovatif
Teknologi inovatif, seperti In-Pond Raceway System (IPRS), pakan berkualitas tinggi, dan nila jantan alami berteknologi YY, menawarkan berbagai manfaat yang dapat membantu pembudidaya mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keuntungan mereka. Sebagai contoh, dengan mengadopsi sistem IPRS, pembudidaya dapat mengurangi biaya energi dan tenaga kerja yang terkait dengan budi daya kolam tradisional. Selain itu, IPRS memungkinkan pembudidaya untuk mengontrol dan mengoptimalkan kualitas air, yang dapat meningkatkan kesehatan dan tingkat kelangsungan hidup ikan. Teknologi ini juga memungkinkan pembudidaya untuk membudidayakan ikan nila secara intensif di area yang lebih kecil, sehingga dapat membebaskan lahan untuk keperluan lain atau berpotensi meningkatkan volume produksi. Peningkatan efisiensi dan produktivitas dari teknologi akuakultur yang lebih baru dapat memungkinkan pembudidaya untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan profitabilitas mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk tetap kompetitif di pasar. Oleh karena itu, penting bagi pembudidaya untuk selalu mendapatkan informasi dan mempertimbangkan untuk mengadopsi teknologi yang lebih baru ketika teknologi tersebut tersedia untuk membantu mereka tetap beroperasi dan menguntungkan dalam jangka panjang.